Waruga, Makam Batu
For love and death are one, even as the river and the sea are one.
Kahlil Gibran, 1881-1931).
Kematian memang tidak dapat dipisahkan dari manusia yang kehidupannya hanya sementara. Satu alur tidak terpisah. Kehidupan yang ditandai kelahiran, kemudian setelah selesai kehidupan, kematianlah yang menjadi tanda akhir sebuah kehidupan di dunia.
Seseorang yang meninggal, karena latar belakang agama atau kepercayaannya, akan dibawa ke peristirahatan terakhirnya, makam. Di sinilah tubuh manusia yang meninggal dikubur. Dan di Menado, tepatnya di Sawangan, terdapat makam batu kuno yang sangat unik dan istimewa karena sudah berumur ratusan tahun juga menyimpan nilai historis. Makam ini dinamakan Waruga.
Komplek Waruga di Desa Sawangan, Kecamatan Airmadidi, dapat ditempuh melalui Kota Manado dengan jarak kira-kira 20km, dan komplek ini sudah dijadikan cagar budaya oleh pemerintah daerah setempat.
Ada beberapa makam dalam komplek ini, rata-rata keadaannya masih cukup baik dan terawat. Menurut sang penjaga makam sekaligus pemandu wisata, makam-makam batu mulai dibuat sekitar tahun 1700an.
Kembali menurut beliau, dari cerita-cerita yang diwariskan turun temurun, batu-batu yang akan digunakan adalah batu masif/solid yang dibawa dari gunung ke kampung, dengan cara dijinjing (bisa sambil membayangkan kita menjinjing tas belanjaan, seperti itulah kira-kira) lalu dengan peralatan seadanya, batu itu dikerok/dicoak, sebagai tempat tubuh orang yang meninggal. Tubuh tersebut kemudian dimasukkan ke dalam batu dengan posisi kaki ditekuk, seperti posisi seorang bayi dalam rahim ibu. Demikian batu ini adalah morfologi rahim seorang ibu, tempat manusia akan dilahirkan ke dunia, sementara batu ini menjadi tempat manusia meninggalkan dunia.